Hai hai kokiers dan juga Z, mudah-2an ga bosen ya membaca cerita perjalanan saya ke NZ. Bukannya untuk mengiming-imingi loh, anggap aja ini sebagai catatan perbandingan (comparison) bahwa keindahan alam di sana itu juga ternyata sebagian ada di Tanah Air kita. Dan saya berharap semoga di masa mendatang, tempat-2 indah yang terbentang di Tanah Air itu pun bisa dikelola /di-manage semenarik dan sebersih mungkin seperti halnya obyek-obyek wisata yang ada di NZ/negara lainnya.
Menurut saya, dua hal tersebut adalah salah satu kunci utama mengapa pariwisata negara lain cukup maju. Itu aja harapan saya, karena kalau enggak kita –sebagai anak bangsa --yang promosi siapa lagi yang bisa? Saya setuju, bagaimanapun negeri sendiri adalah yang utama, walau secara pribadi, ketika saya udah menetap di luar negeri pun masih aja harus mengalami rasa kecewa.
Saya sendiri cukup kaget, baru kali ini tahu bahwa no passport saya yang baru ternyata dimiliki oleh 2 orang berbeda (saya dan orang lain). Well…well…well…bukankah harusnya nomer passport itu unik, hanya 1 untuk satu orang. Maka saat check ini untuk naik pesawat kemarin (baik saat mau berangkat dan kembali ke OZ) saya sempat mengalami sedikit ‘gangguan’. Petugas reservasi tiket agak bingung dengan kondisi passport saya, hingga saya harus menunggu hampir 1 jam untuk urusan clearing check in!
Saya makin heran ketika dapat penjelasan dari petugas check in di counter tersebut (saat di NZ mau ke OZ) yang bilang bahwa kasus seperti ini bukan hal yang baru untuk pemegang passport Indonesia. Karena sebelumnya dia pernah menjumpai kasus yang sama, 1 nomer passport dimiliki oleh 5 orang yang berbeda! Hingga suami saya pun hanya bisa geleng-2 kepala, yang saya tanggapi dengan guyon, itulah hebatnya negeri saya, cerdik dan kreatif! Ha ha ha….opsss, bagaimanapun juga saya masih cinta RI, masih belum kepikiran mengganti si Burung Garuda dengan Kiwi atau bahkan yang lainnya….
Ok deh, mari kita mulai petualangan kita escaping ke Great Barrier Island (GBI) New Zealand. Journey ke GBI adalah rangkaian terakhir perjalanan kami ke NZ sebelum kembali ke OZ. Di pulau ini ibu mertua saya bermukim. Untuk ke GBI ada dua alternative jalur yang bisa ditempuh, naik ferry atau pesawat kecil. Singkat cerita karena ingin tiba cepat dan praktis kami memilih naik peawat kecil daripada ferry yang menempuh 4-5 jam, itu pun kalau cuaca baik. Wah…daripada semua sakit (boat sick) ya udah mending naik pesawat yang cuman 30 menit itu.
Saya sebetulnya agak takut, seumur hidup belum pernah naik pesawat kecil yang kalo ada angin dan menembus awan bergejolak bak roller coaster, penumpangnya pun maksimal 10 orang (plus pilot). Ukurannya hanya seperti mobil wagon (tapi terbang), maka penumpang cuman bisa bawa bagasi 10 kg perorang, bebe koala pun terhitung sebagai bagasi itu he he, terpaksa kami menitipkan bawaan koper-2 kami di counter maskapai penerbangan tersebut (di Auckland) selama kami ke GBI. Oh ya, saat check in pun ditanya berat badan para penumpang, ini untuk menentukan posisi duduk di pesawat biar balance (ternyata bukan kuliah aja yang posisi duduk menentukan indeks prestasi ha ha). Yah, daripada engga ada pilihan lain, ya enjoying aja deh terbang bersama si burung besi…
Dari Auckland pesawat terbang sekitar 30 menit melintasi lautan menuju GBI (di kala cuaca bagus). Thank God, cuaca saat itu pas bagus, hingga saya bisa melihat gambar bagus di bawah, yup landschap kota Auckland dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Dan 30 menit kemudian tibalah kami di GBI…waow dari atas aja pulau ini sudah mempunyai daya tarik yang besar. Pantainya bersih dihiasi lembah-lembah yang menghijau.
Lokasi GBI ada di sebelah timur laut Auckland, penduduknya pun cuman 800 orang, tak heran berada di GBI serasa di pulau sendiri. Meski lumayan lengkap fasilitasnya, ada kantor council, perpustakaan, kantor polisi, sekolah SD-SMU, 1 supermarket, 3 toko kecil, 2 kantor pos dan 3 café yang letaknya berjauhan (bersebaran di pantai barat dan pantai timur). Dari pantai barat ke pantai timur pun bisa dijaungkau dengan mobil dalam waktu 1 jam. Kalau ada orang yang sakit dan pihak puskesmas (dokter setempat) engga bisa menangani akan dibawa terbang dengan helicopter ke Auckland. Pusat kotanya sendiri yang ada di pantai timur cuma berupa airport kecil (banget), kantor council, kantor pos, café dan toko kecil plus pom bensin. Sepertinya memang mereka sangat tergantung dengan Auckland, ga heran kalau harga-2 di sini (terutama makanan) lebih mahal 1,5 kali dari Auckland (karena harus menghitung ongkos angkut).
Lama tidak bertemu ibu mertua, kami jumpai beliau kini dengan gaya hidup yang jauh berbeda, apalagi karena sejak 5 tahun lalu beliau memutuskan menjadi pendeta Buddha (Buddist Nun). Pilihan itu pula yang menjadikan ibu mertua menjalani hidupnya dengan sederhana. Setiap minggu dia membimbing umat yang ingin berdoa. Di saat-saat tertentu ibu juga menggelar workshop (mentoring) seperti meditasi, healing, counselling untuk para counsellor, yang semua itu gratis karena di back up oleh yayasan sosial/badan amal tempat ibu bernaung.
Ibu tinggal di sebuah cottage (rumah kecil dari kayu) yang lumayan lengkap fasilitasnya walau interiornya sederhana. Biasanya di setiap cottage (rumah utama) akan dilengkapi 1 atau 2 paviliun kecil (bernama lodge) yang letaknya berdekatan di samping/belakang cottage. Lodge berupa ruangan yang mencakup tempat tidur, ruang tamu, dapur dan toilet jadi satu (studio bahasa kerennya) yang sebagian interiornya dari kayu.
Di salah satu lodge inilah kami menginap selama tinggal di GBI. Karena tidak ada heater (pemanas ruangan) maka tungku api jaman kuno pun menjadi penghangat kami. Dari teras lodge, pemandangan yang terhampar sungguh indah, silakan kokiers menikmatinya.
Ibu mertua yang vegetarian juga tidak memiliki lemari es, untuk menyimpan sayuran, buah, telur dan yang lainnya tetap awet, ibu punya box khusus yang fungsinya sama seperti lemari es, box kayu ini seperti lemari kecil yang menempel di dinding dapur dan diletakkan menjorok ke luar dinding rumah yang di setiap bagian sisi-sisinya dilubangi untuk sirkulasi udara. Kata ibu, sebagian besar penduduk GBI tidak memiliki lemari es seperti di kota besar karena dengan box inipun makanan terjaga kebersihannya dan awet, mengingat udara sekitar yang relative dingin dan bersih. Untuk mencuci baju pun harus ke laundry di pusat kota sepekan sekali, meski mereka memiliki alat mencuci manual (termasuk gilesannya) yang terbuat dari kayu (old English style).
Begitulah gaya hidup sederhana masyarakat GBI, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka mengandalkan pada hasil organic berkebun (buah, sayuran) dan memelihara ternak (ayam,domba) untuk diambil hasilnya (telur/susu). Kehidupan yang simple seperti ini memang cocok untuk mereka yang suka menyepi (retreat), escaping (melarikan diri dari kejenuhan/kesibukan) atau para petualang yang suka tantangan.
Lantas apa saja yang bisa ditelusuri di GBI? Wah kalau punya waktu banyak susah pasti akan saya telusuri semua. Karena cuman 4 hari di sini dan sikon yang tidak memungkinkan maka hanya beberapa tempat menarik yang bisa saya kunjungi. Secara umum GBI memiliki obyek-2 yang menarik karena mempunyai rangkaian pegunungan, air terjun di pedalaman hutan, sungai-2 dan pantai yang bersih dan kolam air panas hot spring yang dibiarkan natural/apa adanya.
Beberapa tempat yang saya kunjungi di antaranya adalah jalan-2 di hutan (forrest track). Ada bebapa pilihan/tempat untuk seperti ini, kebetulan saya memilih yang agak ‘rasional’ sesuai dengan kondisi kami yang membawa anak kecil. Makannya saya pilih salah satu yang jalannya agak datar. Di forrest track ini banyak dijumpai sungai- kecil (creek) yang airnya sangat jernih, bersih dan dangkal. Gemericik air berpadu manis dengan suara kicauan aneka burung seperti orchestra alami. Hmmm….alangkah senangnya. Sayang kami tidak sukses mencapai target (menjumpai air terjun) dan kolam air panas (hot spring) mengingat sikon saat itu.
Terus terang saya tidak mampu untuk jalan sekitar 1 jam an (5-10 km) sambil menggendong si kecil wah bisa encok dan gempor nih badan hi hi. Ini karena tak mungkin untuk si kecil yang masih 19 bulan jalan sendirian. Padahal heran juga sih, si junior cuman mau digendong emak tercinta, kalau bisa sharing dengan hubby kan lumayan yah…oh….nasib! Tapi untuk kokiers saya sertakan foto kolam air panas (hot spring) jepretan suami saya yang pernah ke sana 8 tahun lalu sebelum menikah dengan emaknya bebe koala hi hi. Kalau air terjun, menurut laporan suami saya tidak sebesar yang di Cibodas apalagi Tawangmangu…he he suami saya udah pernah ke dua obyek wisata tersebut dengan istri tersayang. So, ngga gelo deh hati ini….walau sedikit rasa penasaran masih ada.
Ocre deh, back from the jungle, kembali ke pantai yuk. Di GBI setidaknya ada dua pantai yang terkenal keindahannya. Yang pertama Medland Beach, pantai ini terletak hampir di tengah antara pulau bagian barat dan timur. Jadi kalau mau ke pantai barat atau timur akan melewati Medland Beach. Pantainya cenderung datar dan berpasir kuning. Ombaknya pun lumayan ‘kalem’ dan tidak besar. Karenanya bagus untuk bermain dan mengajak keluarga ke sini.
Sementara Kaitoke Beach yang ada di bagian barat pulau agak besar ombaknya. Pantainya berpasir putih dan dihiasi banyak batu-batu karang besar yang menghiasi bibir pantai. Di bagian lain bibir pantai juga banyak dijumpai terowongan dari batu yang terjal yang dilalui seperti sungai kecil. Wah…memang pantai ini bagus untuk mereka yang suka tantangan karena bisa menelusuri bibir pantainya yang bervariasi.
Tak jauh dari Kaitoke Beach ada Mermaid Pool. Kolam ini terkenal dan sudah menjadi salah satu ikon GBI selain hot spring di atas. Letaknya memang agak tersembunyi, harus berjalan menyusuri batu karang. Untuk melihat Mermaid Pool pun harus menunggu setelah jam 2 siang, ketika air laut agak surut. Dan memang kolam ini seperti tempat mandi para putri duyung. Menurut ibu mertua, air di Mermaid Pool akan terlihat jernih berwarna biru ketika summer (cuaca bagus, tidak mendung). Begitulah alam GBI….semuanya masih terlihat pure dan asri…sesuatu yang boleh kita contoh untuk kelestarian alam di negeri tercinta. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar